Connect with us

Blockchain

Nasib Ekonomi Global Setelah Pelonggaran Kuantitatif Tak Terbatas

Published

on

Beberapa waktu lalu, Bank Sentral Amerika Serikat alias The Fed menelurkan kebijakan Unlimited Quantitative Easing (pelonggaran kuantitatif tak terbatas). Apa dampaknya terhadap ekonomi global dan Indonesia? Berikut wawancara kami dengan Douglas Tan Pendiri BullWhales, Senin (13 April 2020).
Resesi besar mengacu pada penurunan ekonomi dari tahun 2007-2009, setelah pecahnya gelembung perumahan AS dan krisis keuangan global. Resesi besar kala itu adalah yang terparah sejak Great Depression di AS pada tahun 1930-an.

Ketika resesi besar dimulai, The Fed menurunkan target suku bunganya mendekati nol, dan kemudian terpaksa menggunakan alat kebijakan moneter yang tidak konvensional termasuk pelonggaran kuantitatif.

Penting untuk disadari, bahwa pelonggaran kuantitatif adalah tindakan darurat yang digunakan untuk merangsang ekonomi dan mencegahnya jatuh ke dalam spiral deflasi.

Pelonggaran kuantitatif tak terbatas itulah yang memungkinkan The Fed menyuntikkan lebih banyak dolar AS lagi ke dalam pasar guna menyelamatkan ekonominya. Apakah saat ini kita berada di resesi besar?

+ Kebijakan Unlimited Quantitative Easing kali ini lebih masif daripada krisis 2008. Apakah bisa membawa Amerika Serikat ke hyperinflation?
Menurut The Fed, pertumbuhan ekonomi saat ini adalah fungsi dari balance sheet itu (jumlah QE, melalui pembelian aset di market). Padahal fakta di lapangan stock market naik sementara saja. Pelaku pasar juga mempertimbangkan banyak hal di luar sana, kendati likuiditas berhamburan.

BERITA TERKAIT  Kita, Dolar AS dan Bitcoin Itu

+ Dampak kebijakan QE terhadap peningkatan inflasi di AS sendiri kapan akan terasa?
Untuk main street (bisnis kecil dan individual), bantuannya baru digelontorkan oleh The Fed dengan stimulus US$2,3 terakhir, berbarengan dengan Cares Act dari Trump. Namun, tidak semua duit itu dialihkan ke main street.

Nah, terkait hyperinflation, hanya ketika beberapa kebijakan lagi dari The Fed, kemungkinan sampai US$10 triliun. Dan lagi ketika main street sudah bisa bekerja seperti semula, barulah inflasi itu mulai terasa. Diperkirakan 1-2 tahun lagi semenjak Unlimited QE itu diluncurkan.

+ Anda setuju dengan pendapat IMF dan JPMorgan, bahwa sekarang dunia sudah berada di resesi ekonomi global?
Pengertian resesi itu kalau ada perlambatan economic output, dalam hal ini adalah GDP. Ketika orang diminta untuk stay at home, beberapa jenis pengeluaran tidak dapat dilakukan, membatasi spending pada pos-pos tersebut, sehingga konsumsi rumah tangga secara makro akan mengalami penurunan. Sudah jelas ketika membandingkan data Q1 2019 dengan Q1 2020, kontraksi jelas terasa.

BERITA TERKAIT  Mata Uang Digital AS, Shopify dan “Lampu Hijau” untuk Libra

+ Kendati kelak pasar modal di AS rebound, bukankah utang pemerintah juga besar?
Itu dua hal dengan bidang disiplin yang berbeda. Namun Trump dalam beberapa pidato dan tweet-nya jelas menggunakan pasar saham sebagai proksi keberhasilan ekonomi AS.

Menurut data terakhir, pasar saham AS memiliki inflow terbesar dari buyback perusahaan, di mana buyback tersebut didanai oleh utang.

+ Jika pasar modal rebound dan utang pemerintah AS membesar, apakah berpotensi alih kesadaran banyak orang lagi untuk tidak berinvestasi ke saham?
Belum ada kajian khusus mengenai ini. Namun main street jelas harus memenuhi kebutuhan sandang dan pangannya terlebih dahulu. Menurut saya investasi saham masih jadi favorit dibandingkan investasi kelas aset yang lain.

+ Bagaimana nasib ekonomi Indonesia?
Dengan kebijakan Unlimited QE, supply uang di pasaran akan bertambah, entah tepat sasaran atau tidak.

Dengan mudahnya mengakses “sumber uang baru” ini, namun dengan output yang relatif sama bahkan menurun, akan mendorong terciptanya periode inflasi bahkan stagflasi.

QE juga adalah salah satu tools bagi bank sentral guna melakukan intervensi menurunkan kekuatan mata uangnya, agar kembali kompetitif dengan para mitra dagangnya, menyelamatkan nilai ekspor negara, di mana bank sentralnya melakukan kebijakan QE.

Skema ini dikenal dengan nama devaluasi. Ceteris paribus (hal lain diasumsikan sama), rupiah akan terapresiasi, terbukti dengan kebijakan QE terhadap main streetsebesar US$2,3 triliun minggu lalu seiring dengan fasilitas repo line yang baru didapatkan oleh Bank Indonesia, menguatkan nilai rupiah terhadap dolar AS secara sementara.

Hubungannya dengan ekonomi Indonesia, ketika mata uangnya tidak terdepresiasi secara jauh terhadap dolar AS adalah, pembiayaan impor lebih murah, pembiayaan pembayaran utang luar negeri (baik bunga maupun pokok) dalam denominasi lebih murah, serta pembentukan cadangan devisa dolar AS yang lebih solid untuk beberapa masa yang akan datang.

Perlu dicatat bahwa kepastian eksportir dan importir untuk melakukan dagang antar negara sangat erat kaitannya dengan kekuatan rupiah terhadap dolar AS, di mana komponen ekspor impor ini merupakan salah satu pilar dalam perhitungan Produk Domestik Bruto secara makro. [red]

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Popular