Berdasarkan penelusuran Blockchainmedia.id, petang hari ini, Minggu (19 April 2020), jumlah tanda tangan naik kembali menjadi sekitar 15 ribu.
Jandi mengatakan kepada Vivanews, saat ini pihaknya sedang berusaha mengajak para simpatisan yang telah menandatangani secara online petisi tersebut untuk kembali mengakses petisi. Hal ini mereka lakukan sembari mencari solusi dan alternatif mengumpulkan dukungan yang lebih secured ke depannya.
Blockchain sebagai Solusi
Menanggapi peristiwa itu, Wisnu Uriawan peneliti blockchain asal Indonesia di pusat penelitian LIRIS, Perancis, mengatakan, bahwa teknologi blockchain bisa sebagai solusi alternatif untuk sistem petisi seperti itu.
“Mengingat teknologi blockchain bersifat irreversible, maka setiap tanda tangan (vote) bersifat permanent (kekal), tidak dapat ditarik kembali alias tidak dapat dihapus, sekalipun oleh pengelola platform petisi. Inilah yang mengukuhkan tingkat kepercayaan dalam petisi,” jelasnya kepada Blockchainmedia hari ini.
Perangkat untuk membuat petisi berbasis blockchain pun tersedia saat ini, tinggal mengembangkannya saja. Contoh percobaan terbaik adalah oleh Partai Demokrat Thailand yang menggunakan blockchain Zcoin untuk memilih ketua umum pada beberapa tahun lalu.
“Partai itu mengandalkan teknologi blockchain Zcoin untuk memilih pemimpin baru partai, selama 1-9 November 2018. Lebih dari 120 ribu suara dikumpulkan,” jelas Wisnu.
Sementara itu menurut Danny Baskara, Pendiri Vexanium Foundation, teknologi blockchain Vexanium juga bisa digunakan untuk sistem petisi seperti itu.
“Setiap pembuatan petisi atau referendum, semua vote/tanda tangan bersifat transparan dan tidak bisa diubah. Untuk setiap perubahan fitur di jaringan blockchain saja, kami menggunakan skema e-voting di tubuh blockchain itu sendiri. [red]