Crypto

Aturan Pajak Aset Kripto di Indonesia Resmi Terbit: Terlalu Berat Bagi Investor

Published

on

Pemerintah Indonesia akhirnya menerbitkan aturan pengenaan pajak atas transaksi perdagangan aset kripto. Namun, banyak analis menyebutkan beban pajak terlalu tinggi sehingga memberatkan bagi investor dalam negeri.

Perdagangan aset kripto di Indonesia akan mulai dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN dan Pajak Penghasilan atau PPh yang akan berlaku mulai 1 Mei 2022. Hal tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68/PMK.03/2022 yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani pada 30 Maret 2022 dan diundangan pada hari yang sama.

Dalam aturan tersebut, Sri Mulyani menyatakan bahwa aset kripto yang berkembang luas dan menjadi komoditas perdagangan merupakan objek PPN. Hal tersebut sejalan dengan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8/1983 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

“Bahwa untuk memberikan kepastian hukum, kesederhanaan, dan kemudahan administrasi pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas perdagangan aset kripto, perlu mengatur ketentuan mengenai pajak pertambahan nilai dan pajak penghasilan atas transaksi perdagangan aset kripto,” tulis Sri Mulyani di aturan PMK) Nomor 68/PMK.03/2022.

Ilustrasi market kripto bitcoin.

Baca juga: Riset: Indonesia Jadi Negara Pengadopsi Aset Kripto Tertinggi di Dunia

Besaran Tarif Pajak Aset Kripto di Indonesia

Pemerintah mengatur penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) akan bertugas memungut, menyetor, dan melaporkan PPN terutang atas penyerahan aset kripto. PMSE merupakan penyelenggara kegiatan pelayanan untuk memfasilitasi transaksi aset kripto, termasuk perusahaan dompet elektronik (e-wallet).

Berikut besaran tarif PPN dan PPh untuk transaksi kripto yang ditetapkan PMK 68/2022:

  1. 1 persen dari tarif PPN dikali dengan nilai transaksi aset kripto, jika penyelenggara PMSE merupakan pedagang fisik aset kripto.
  2. 2 persen dari tarif PPN dikali dengan nilai transaksi aset kripto, jika penyelenggara PMSE bukan pedagang fisik aset kripto.
  3. Pph 0,1% dari nilai transaksi aset kripto, tidak termasuk PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), berlaku bagi penjual aset kripto, penyelenggara PMSE dan penambang aset kripto.
  4. Jika penyelenggara PMSE bukan pedagang fisik aset kripto, maka PPh pasal 22 bersifat final yang dipungut sebesar 0,2%.

Pajak Aset Kripto Dorong Penerimaan Negara

Aspakrindo (Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia) menyambut baik aturan pengenaan pajak aset kripto yang disahkan oleh Kemenkeu. Dengan aturan pajak ini akan industri aset kripto akan dipadang memiliki legitimasi yang kuat, seperti layaknya industri lainnya yang berkembang di Indonesia.

“Pemberlakuan pajak terhadap aset kripto sangat memungkinkan dan memberi dampak positif pada industri yang sudah berjalan baik saat ini. Namun, pemberlakuan pajak tersebut masih perlu pembahasan yang lebih fokus dengan unsur hati-hatian dan mendalam,” kata Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) & COO Tokocrypto, Teguh Kurniawan Harmanda.

Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) & COO Tokocrypto, Teguh Kurniawan Harmanda

Baca juga: Daftar Anak Muda yang Kaya Berkat Investasi Aset Kripto

Lebih lanjut, Manda menjelaskan pengaturan pajak bisa menguntungkan semua pihak dari pemerintah hingga investor. Sebagaimana yang telah kita ketahui perdagangan aset kripto dalam negeri saat ini tumbuh begitu pesat dalam 2 tahun terakhir.

“Industri aset kripto diestimasikan menghasilkan transaksi perdagangan bernilai setidaknya Rp 2,35 triliun per hari, atau Rp 859,4 triliun per tahun pada 2021. Hal ini menimbulkan potensi ekonomi, dan tentu saja, potensi penerimaan negara dari sektor perpajakan yang cukup signifikan,” ungkapnya.

Pajak Kripto Terlalu Tinggi Beratkan Investor

Manda melihat aturan pengenaan pajak aset kripto yang disahkan oleh Kemenkeu dapat memberatkan investor dalam negeri. Pasalnya beban pajak yang ditetapkan terlalu tinggi.

Pengenaan pajak PPN dan Pph masing-masing 0,1%-0,2% dinilai terlalu tinggi untuk dibebankan pada industri aset kripto yang masih baru tumbuh di Indonesia. Dikhawatirkan potensi pertumbuhan ke depan akan berjalan lambat.

“Investor tentu akan antusias, jika dalam pengaturan pajak ini menguntungkan semua pihak. Namun di sisi lain, jika penerapan pajak yang terlalu tinggi dan membebani investor dapat menyebabkan potensi terhambatnya perkembangan industri aset kripto sendiri,” jelasnya.

Ilustrasi pajak aset kripto.

Bagi investor dalam negeri tentu dengan membayar pajak transaksi aset kripto bisa berkontribusi dalam pembangunan negara. Pajak memiliki manfaat untuk membiayai pengeluaran reproduktif yang berdampak langsung pada masyarakat.

“Aset kripto termasuk komoditi di Indonesia, sehingga aturan pengenaan tarif PPN perlu dikaji ulang. Kemudian, perdagangan aset kripto di Indonesia terbilang masih baru,” tutur Manda.

Jika tarif PPh Final atas aset kripto 0,1 persen, maka akan membebankan investor dalam negeri. Padahal dengan keringanan perpajakan akan menjadi alasan kuat investor untuk bertahan di exchange lokal.

Baca juga: Peluncuran Bursa Kripto di Indonesia Resmi Mundur, Jadi Kapan?

Popular

Exit mobile version