Blockchain
Meta versus Metaverse dan Masa Depan Dunia Virtual
Facebook berganti nama menjadi Meta. Platform media sosial nomor satu dunia ini bahkan makin serius menggarap perangkat realitas virtual (virtual reality atau VR) mereka, yang makin mencengangkan saja kemampuannya. Facebook tidak baru-baru ini saja latah dengan dunia virtual. Akuisisi Oculus, perangkat virtual asal California, sudah dilakukan sejak 2014 dengan nilai raksasa, yakni USD2,3 miliar dalam bentuk tunai dan saham.
Perangkat VR adalah salah satu prasyarat utama bagi pengalaman virtual yang lebih imersif. Perangkat VR yang dipasang di alat penglihatan dan sarung tangan haptics akan mengirim gambar dan sinyal sentuhan ke dunia virtual yang dikembangkan Facebook, sehingga interaktivitas sosial tidak akan lagi dibatasi oleh jarak dan waktu.
Rapat di kantor, misalnya, tak lagi perlu berada dalam ruangan yang sama, sehingga memberi banyak keuntungan. Waktu yang dihabiskan di jalanan, risiko kesehatan, dan biaya, tentu saja dapat ditekan seminimal mungkin.
Yah, tentu saja kalau memang tak berniat untuk menghabiskan anggaran, seperti yang lazim terjadi di instansi pemerintahan.
Apa itu Metaverse?
Metaverse, dunia virtual yang diilhami oleh novel Snow Crash karya Neal Stephenson di tahun 1992, memungkinkan konvergensi konektivitas dunia fisik dan virtual dalam ruang maya.
Metaverse, istilah yang baru-baru ini semakin populea, sebenarnya cukup banyak terwujud di sekitar kita, terutama dalam bentuk gim. Ada Roblox, Minecraft, atau bahkan Animal Crossing.
Animal Crossing, gim imut yang menugasi pemain untuk mengelola sebuah pulau untuk menjadi pulau destinasi wisata, memberikan keleluasaan bagi pemain untuk mendesain ruang eksterior dan interior dari bangunan tertentu.
Tak hanya itu, versi daring dari gim ini memungkinkan pemain untuk mengunjungi pulau milik temannya!
Baca juga : Shiba Inu (SHIB) Menjadi Token Paling Dicari di CoinMarketCap
Metaverse Kripto
Naiknya kepopuleran metaverse yang dipicu oleh Facebook (Meta) ini juga berdampak pada beberapa produk aset kripto seperti Decentraland.
Produk utama Decentraland adalah dunia tiga dimensi, yang bisa diakses di komputer desktop. Komponen utama dari Decentraland adalah ruang tiga dimensi itu sendiri, yang dinamai LAND.
Ruang tiga dimensi ini jadi bahan jualan utama Decentraland. Setiap orang dapat mengakuisisi sepotong tanah di Decentraland, yang teridentifikasi dengan koordinat Cartensian x dan y, yakni koordinat dua dimensi yang terpetakan menggunakan satu sumbu horizontal (x) dan satu sumbu vertikal (y). Seseorang bisa membeli satu blok tanah yang disebut dengan parcel, ataupun gabungan beberapa parcels yang disebut estate.
Harga properti di Decentraland tidaklah murah. Saat ini, satu parcel termurah dihargai 4000 MANA. MANA adalah native token dari Decentraland. Satu MANA saat ini bernilai USD3,73, sehingga satu parcel dapat dikonversi menjadi USD14.920 atau lebih dari 211 juta rupiah!
Tak hanya tanah saja yang dapat dijual di Decentraland. Barang-barang virtual lain yang berupa kolektibel yang terdiri atas produk fashion, juga tersedia di marketplace. Penutup kepala, baju, hingga alas kaki, tersedia dalam ragam dan harga yang bervariasi. Barang-barang ini bisa dipakai untuk memodifikasi avatar pengguna, yakni karakter yang menjadi representasi si pengguna dalam dunia digital.
Facebook Meta vs Metaverse Aset Kripto
Persaingan Meta dengan produk metaverse aset kripto seperti Decentraland sesungguhnya sedang terjadi. Produk-produk ini memiliki “bahan jualan” yang serupa.
Meskipun, saya tidak yakin kalau Meta nantinya ikut berjualan petak tanah virtual, akan tetapi jangan lupa bahwa Facebook dahulu pernah bereksperimen dengan produk mata uang kripto bernama Diem, yang kini bernama Novi.
Bisa jadi, mata uang kripto Novi yang digadang-gadang lebih condong ke stablecoin ketimbang aset kripto lain seperti Bitcoin dan Ethereum, menjadi alat pembayaran di dalam ekosistem Meta besutan Facebook.
Titik fokus Meta dan Decentraland mestinya tidak sama. Meta bisa mengadopsi pola bisnis Facbook saat ini yang mengutamakan konektivitas antar-orang yang membentuk ekosistem sosial (dan berjualan data pengguna dalam bentuk iklan dan algoritma recommender produk-produk komersial).
Sementara itu, Decentraland lebih ditujukan pada manajemen aset virtual dan kolektibel. Bila Meta menyediakan aksesibilitas untuk sebanyak mungkin orang. Decentraland akan dihuni sekelompok eksklusif orang yang mampu membayar mahalnya barang-barang yang dijual.
Mereka ini adalah kelompok yang telah berhasil memenuhi kebutuhan primer dan sekunder, dan kini memburu barang-barang tersier seperti NFT dan lahan LAND (yang juga berupa NFT). Dunia virtual LAND bisa menjadi media untuk memamerkan kekayaan virtual dengan menanggalkan identitas dunia nyata.
Facebook yang telah memiliki basis pengguna sangat besar, rasa-rasanya tak akan kesulitan untuk mendorong pengguna untuk memakai Meta, dengan asumsi bahwa perangkat dan fasilitas telah tersedia luas.
Sementara itu, Decentraland dan sejenisnya masih harus berjibaku untuk meyakinkan orang untuk membeli MANA, apalagi menginvestasikan sejumlah besar MANA untuk membeli sepetak tanah virtual dalam LAND yang harganya setara mobil Xpander baru.
Akan aneh rasanya, menggunakan ruang virtual Decentraland tanpa memiliki aset apapun baik dalam bentuk tanah ataupun fashion.
Decentraland mestinya sadar bahwa ia bukan satu-satunya metaverse yang beroperasi di dalam aset kripto. Dengan harga transaksi yang mahal dalam platform Ethereum dan munculnya metaverse lain pada platform dengan biaya transaksi lebih murah, rasa-rasanya tak masuk akal untuk membeli LAND saat ini, bila memang tidak tajir melintir.
Baca juga : Mengenal Karya Seni Rupa Murni dan Potensinya di Dunia NFT
Tanah Virtual dan Risikonya
Soal karakter sentralistik, meski Decentraland memiliki komponen blockchain, ia tak akan berarti banyak tanpa komponen off-chain yang memungkinkan orang berinteraksi di dunia tiga dimensi.
Komponen inilah yang pastinya memerlukan bantuan pihak ketiga untuk menjalankan dan mengelolanya, yang tentu saja, tersentralisasi. Maka banyangkan bila pihak ketiga ini berhenti beroperasi; bagaimana nasib tanah dan aset virtual lainnya yang telah dikumpulkan oleh pengguna metaverse tersebut?
Jumlah petak tanah pada Decentraland memang sangat terbatas; tentunya menimbulkan potensi keuntungan besar bagi para investor, seperti halnya bisnis properti tradisional. Namun, dengan sifatnya yang virtual dan ketergantungannya pada pihak ketiga untuk memastikan bahwa dunia virtual tersebut dapat diakses dengan baik. Rasa-rasanya jenis investasi tanah virtual ini berisiko amat-sangat-tinggi sekali.