Connect with us

Academy

Perbedaan Bitcoin dan Model Stock to Flow?

Published

on

Perbedaan Bitcoin dan Model Stock to Flow. Sumber: Binance Academy.

Bitcoin dan Model Stock to Flow telah menjadi dua konsep yang menarik perhatian dunia keuangan selama beberapa tahun terakhir. Bitcoin,aset kripto yang pertama kali diperkenalkan oleh individu misterius bernama Satoshi Nakamoto pada tahun 2009, telah menjadi pusat perbincangan di kalangan investor, ahli keuangan, dan bahkan masyarakat umum.

Sementara itu, Model Stock to Flow adalah sebuah teori yang telah muncul sebagai alat penting untuk menganalisis nilai Bitcoin dalam jangka panjang. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi kedua konsep ini dan bagaimana keduanya berhubungan dalam menggambarkan masa depan aset kripto paling terkenal di dunia saat ini.

Apa itu Model Stock to Flow?

Secara sederhana, Model Stock to Flow (SF atau S2F) adalah cara untuk mengukur persediaan sumber daya tertentu. Rasio Stock to Flow menghitung jumlah sumber daya yang tersimpan dalam cadangan dibagi dengan jumlah yang diproduksi setiap tahunnya. Model ini umumnya diterapkan pada sumber daya alam.

Sebagai contoh, mari kita pertimbangkan emas. World Gold Council memperkirakan bahwa sekitar 190.000 ton emas telah ditambang hingga saat ini. Jumlah ini dapat dianggap sebagai “stock” (persediaan). Sementara itu, sekitar 2.500 hingga 3.200 ton emas ditambang setiap tahunnya, yang kita sebut sebagai “flow” (arus). Rasio Stock to Flow dapat dihitung dengan membagi jumlah persediaan dengan jumlah arus.

Semakin tinggi rasio Stock to Flow, semakin sedikit pasokan baru yang memasuki pasar setiap tahunnya. Oleh karena itu, aset dengan rasio Stock to Flow yang tinggi cenderung mempertahankan nilai mereka dalam jangka panjang. Di sisi lain, barang konsumsi dan komoditas industri biasanya memiliki rasio Stock to Flow yang rendah karena mereka dikonsumsi dan habis.

Penting untuk dicatat bahwa tingginya rasio Stock to Flow tidak selalu berarti suatu aset akan berharga. Sebagai contoh, emas memiliki rasio Stock to Flow yang tinggi, bukan karena langkanya emas, tetapi karena produksi tahunannya relatif kecil dibandingkan dengan persediaan yang ada.

Berapa Rasio Stock to Flow Emas?

Secara historis, emas telah memiliki rasio Stock to Flow tertinggi dibandingkan dengan logam mulia lainnya. Sebagai ilustrasi, jika kita membagi total persediaan emas (190.000 ton) dengan produksi tahunan (3.200 ton), kita akan mendapatkan rasio Stock to Flow sekitar 59. Artinya, dibutuhkan sekitar 59 tahun untuk menambang jumlah emas yang setara dengan persediaan saat ini.

Namun, perlu diingat bahwa angka-angka ini adalah perkiraan dan bisa berubah seiring waktu. Faktor seperti peningkatan teknologi tambang atau penemuan deposit baru dapat memengaruhi rasio ini.

Sementara emas memiliki rasio Stock to Flow yang tinggi, Bitcoin juga memiliki karakteristik yang menarik dari segi model ini. Model Stock to Flow Bitcoin telah menjadi topik pembicaraan yang semakin mendalam di kalangan komunitas kripto dan analis keuangan. 

Bitcoin adalah aset yang diketahui memiliki persediaan yang terbatas, dengan jumlah total yang akan pernah ada adalah 21 juta bitcoin. Dengan keterbatasan ini, banyak yang mempertimbangkan Bitcoin sebagai “digital gold” (emas digital) dengan rasio Stock to Flow yang tinggi, yang mungkin akan memengaruhi nilai jangka panjangnya.

Dalam artikel ini, kita akan menyelidiki lebih lanjut tentang Model Stock to Flow Bitcoin dan bagaimana konsep ini memainkan peran penting dalam memahami nilai aset kripto yang revolusioner ini.

Stock to Flow dan Bitcoin

Memahami konsep Stock to Flow dalam konteks Bitcoin bisa menjadi kunci untuk menangkap esensi aset kripto ini. Model ini menganggap Bitcoin sebagai komoditas yang langka, serupa dengan emas atau perak.

Emas dan perak telah lama diakui sebagai penyimpan nilai atau store of value. Dalam teori ekonomi, keduanya dianggap mampu mempertahankan nilai dalam jangka panjang karena kelangkaannya dan produksi yang terbatas. Lebih lanjut, penambahan pasokan mereka ke pasar sangat sulit dilakukan dalam waktu singkat.

Pendukung konsep Stock to Flow percaya bahwa Bitcoin memiliki karakteristik yang sama. Bitcoin adalah langka, mahal untuk diproduksi, dan memiliki batasan maksimum pasokan sebanyak 21 juta koin. Selain itu, laju penciptaan pasokan Bitcoin diatur oleh protokol, yang membuatnya sangat dapat diprediksi. Konsep “Bitcoin halving” juga dikenal, di mana jumlah pasokan baru yang masuk ke dalam sistem dipangkas menjadi setengahnya setiap 210.000 blok, sekitar setiap empat tahun.

Total Pasokan BTC yang Ditambang (%) dan Subsidi Blok (BTC).

Mereka yang mempercayai model ini berpendapat bahwa kombinasi semua faktor ini menciptakan aset digital yang langka dan sangat cocok untuk mempertahankan nilai dalam jangka panjang. Selain itu, mereka menunjukkan adanya hubungan statistik yang kuat antara Stock to Flow dan nilai pasar Bitcoin. Proyeksi model ini memperkirakan bahwa harga Bitcoin akan terus meningkat seiring berkurangnya rasio Stock to Flow.

Penerapan model Stock to Flow ke dalam Bitcoin sering dikaitkan dengan PlanB, seorang analis terkenal, dan artikelnya yang berjudul “Modeling Bitcoin’s Value with Scarcity.”

Bagaimana dengan Rasio Stock to Flow Bitcoin?

Saat ini, pasokan Bitcoin yang beredar mencapai sekitar 18 juta bitcoin, dengan tambahan pasokan baru sekitar 0,7 juta bitcoin per tahun. Pada saat penulisan, rasio Stock to Flow Bitcoin berada di sekitar angka 25. Namun, setelah halving berikutnya yang terjadi pada Mei 2020, rasio ini diproyeksikan akan meningkat menjadi angka 50-an.

Grafik di bawah ini menunjukkan hubungan historis antara rata-rata pergerakan selama 365 hari dari Stock to Flow Bitcoin dengan harganya. Grafik juga menandai momen-momen Bitcoin halving pada sumbu vertikal.

Model Stock-to-Flow Bitcoin. Sumber: LookIntoBitcoin.com.

Kelemahan Model Stock to Flow

Meskipun Model Stock to Flow menawarkan pendekatan menarik dalam mengukur kelangkaan, penting untuk menyadari bahwa model ini memiliki beberapa keterbatasan yang perlu diperhitungkan. Seperti banyak model lainnya, Model Stock to Flow hanya sekuat asumsi yang mendasarinya. 

Model ini bergantung pada asumsi bahwa kelangkaan, seperti yang diukur oleh model, akan secara otomatis mendorong nilai suatu aset. Namun, ada penentang Model Stock to Flow yang berpendapat bahwa model ini gagal jika Bitcoin tidak memiliki atribut atau kegunaan lain selain kelangkaan pasokannya.

Kelangkaan emas, produksi yang dapat diprediksi, dan likuiditas global telah menjadikannya sebagai penyimpan nilai yang relatif stabil jika dibandingkan dengan mata uang fiat yang sering mengalami devaluasi.

200 hari Moving Average dari 180 hari Volatilitas Bitcoin. Sumber: Coinmetrics.io.

Model Stock to Flow juga mengasumsikan bahwa volatilitas Bitcoin akan secara bertahap menurun seiring waktu. Namun, fakta sejarah menunjukkan bahwa Bitcoin telah dikenal dengan fluktuasi harganya yang signifikan. Volatilitas mungkin akan menurun dalam perspektif makro, namun Bitcoin terus diperdagangkan di pasar yang bebas sejak awal, di mana harga dipengaruhi oleh tindakan pengguna, pedagang, dan spekulan. 

Kombinasi antara likuiditas yang relatif rendah dan partisipasi aktor pasar ini dapat membuat Bitcoin lebih rentan terhadap lonjakan volatilitas yang tiba-tiba, dan model ini mungkin tidak dapat memprediksi atau menjelaskan fenomena tersebut.

Selain itu, faktor-faktor eksternal, seperti peristiwa tak terduga dalam ekonomi (dikenal sebagai “Black Swan events”), juga dapat mengganggu kinerja model ini. Penting untuk diingat bahwa data historis tidak dapat mengantisipasi atau menjelaskan peristiwa yang tidak dapat diprediksi.

Kesimpulan

Model Stock to Flow memberikan pandangan yang menarik dalam mengukur hubungan antara pasokan dan produksi suatu aset, dan biasanya diterapkan pada logam mulia dan komoditas. Beberapa orang bahkan berpendapat bahwa konsep ini dapat berlaku untuk Bitcoin, memandangnya sebagai sumber daya digital yang langka. Berdasarkan analisis ini, Bitcoin memiliki potensi sebagai aset penyimpan nilai dalam jangka panjang.

Namun, perlu diingat bahwa setiap model memiliki keterbatasan dan tergantung pada asumsi yang digunakan. Selain itu, Bitcoin masih relatif baru dalam dunia finansial, dan model-model seperti Stock to Flow mungkin memerlukan lebih banyak data historis untuk memastikan keakuratannya. Selama perjalanan Bitcoin berlanjut, akan terus ada perdebatan dan penelitian lebih lanjut tentang efektivitas dan relevansi Model Stock to Flow dalam mengukur nilai dan kelangkaan aset ini.


Jika kamu ingin mengetahui lebih dalam mengenai aset kripto atau cryptocurrency, bisa baca artikel “Belajar Crypto untuk Pemula Mulai Dari Sini.”

Sumber: Binance Academy Indonesia

Popular